Page ini kudedikasikan untuk mengulas mereka yg pernah hadir dlm kehidupanku. Orang-orang yg kusayangi, kukagumi, atau sekedar mengesankan karena keunikannya.
Suatu ketika seorang kawan baik pernah bertanya ttg jati diri. Waktu itu kami yg duduk di bangku SMA kelas 2 baru saja mengikuti pengajian yg membahas ttg jati diri seorang Muslim. Bahwa kita telah terlahir dgn jati diri itu, dgn fitrah itu. Dia jadi bingung, kenapa sering ada istilah "mencari jati diri" kalau memang sudah ada sejak lahir. Apa sih sebenarnya yg dicari itu? Apakah jati diri memang sesuatu yg harus dicari? Jadi anak2 atau remaja yg msh dlm proses pencarian, mereka blm punya jati diri? Jati diri itu apa, sih??
Aku menjawab dgn analogi (andalanku) ttg tanah liat yg dibentuk. Jati diri, menurutku, adl bentuk akhir yg diinginkan dari tanah liat itu. Tanpa tujuan pun tanah liat itu akan menghasilkan suatu bentuk. Tapi bagi mereka yg ingin memberikan hasil maksimal tentu mesti mempersiapkan rancangan hasil akhir yg diingikan. Dengan adanya rancangan itu, setiap sentuhan yg diberi pada tanah liat akan memiliki maksud dan tujuan. Nah, bentuk akhir itulah yg tidak semua orang sudah bisa membayangkan, sehingga dikatakan masih mencari. Mencari jati diri. Mencari bentuk akhir dari transformasi sepanjang hayat.
Itu filosofiku :). Filosofi lama yg sudah hampir kulupakan (seperti teori lainku, 'Switch Role'), sampai suatu ketika, sekitar 2 tahun stlh bincang2 dgn teman SMA itu, aku berdialog dgn seorang kawan. Ketika itu, ia meminta aku (selain bbrp temannya yg lain) memberi testimoni ttg dirinya. Katanya, selain utk refleksi diri ttg bagaimana org memandangnya, juga utk menjadi do'a dan koridor agar ia tetap menjadi orang sesuai harapan teman-teman.
Aku tiba2 teringat filosofi tanah liat-ku. Lalu kataku,
"seperti tanah liat yg akan mengeras seiring waktu, karakter manusia pun akan semakin sulit diubah bersama bertambahnya usia. Deretan kata-kata ini (testimoni ttg dirinya dari berbagai orang, red.) sudah mulai memperlihatkan bentuk jelas dari yg awalnya 'gumpalan'. Semoga ia juga mjd iringan doa yg berhembus, mengeringkan 'tanah liat' itu pada bentuk terbaiknya."
"aamiin.....tp km lupa satu hal loh fi... :)
tanah liat itu memang mengeras seiring waktu...
tapi kalau tidak dibakar, maka air masih bisa mengembalikannya ke bentuk
yang lebih lembut, bahkan membantu membentuk sesuatu yang lebih sempurna..... saya punya org2 yg saya cintai, dan sahabat yg sangat berarti, kalian adalah "air" saya yang sesungguhnya.."
Ya, akupun tak tau akan menjadi seperti apa tnp orang2 yg prnh hadir dlm hidupku, tnp "air" itu. Oleh karena itu, aku ingin membagi ceritaku ttg mereka yg turut membantu memberi bentuk pada "tanah liat"ku :)
Suatu ketika seorang kawan baik pernah bertanya ttg jati diri. Waktu itu kami yg duduk di bangku SMA kelas 2 baru saja mengikuti pengajian yg membahas ttg jati diri seorang Muslim. Bahwa kita telah terlahir dgn jati diri itu, dgn fitrah itu. Dia jadi bingung, kenapa sering ada istilah "mencari jati diri" kalau memang sudah ada sejak lahir. Apa sih sebenarnya yg dicari itu? Apakah jati diri memang sesuatu yg harus dicari? Jadi anak2 atau remaja yg msh dlm proses pencarian, mereka blm punya jati diri? Jati diri itu apa, sih??
Aku menjawab dgn analogi (andalanku) ttg tanah liat yg dibentuk. Jati diri, menurutku, adl bentuk akhir yg diinginkan dari tanah liat itu. Tanpa tujuan pun tanah liat itu akan menghasilkan suatu bentuk. Tapi bagi mereka yg ingin memberikan hasil maksimal tentu mesti mempersiapkan rancangan hasil akhir yg diingikan. Dengan adanya rancangan itu, setiap sentuhan yg diberi pada tanah liat akan memiliki maksud dan tujuan. Nah, bentuk akhir itulah yg tidak semua orang sudah bisa membayangkan, sehingga dikatakan masih mencari. Mencari jati diri. Mencari bentuk akhir dari transformasi sepanjang hayat.
Itu filosofiku :). Filosofi lama yg sudah hampir kulupakan (seperti teori lainku, 'Switch Role'), sampai suatu ketika, sekitar 2 tahun stlh bincang2 dgn teman SMA itu, aku berdialog dgn seorang kawan. Ketika itu, ia meminta aku (selain bbrp temannya yg lain) memberi testimoni ttg dirinya. Katanya, selain utk refleksi diri ttg bagaimana org memandangnya, juga utk menjadi do'a dan koridor agar ia tetap menjadi orang sesuai harapan teman-teman.
Aku tiba2 teringat filosofi tanah liat-ku. Lalu kataku,
"seperti tanah liat yg akan mengeras seiring waktu, karakter manusia pun akan semakin sulit diubah bersama bertambahnya usia. Deretan kata-kata ini (testimoni ttg dirinya dari berbagai orang, red.) sudah mulai memperlihatkan bentuk jelas dari yg awalnya 'gumpalan'. Semoga ia juga mjd iringan doa yg berhembus, mengeringkan 'tanah liat' itu pada bentuk terbaiknya."
"aamiin.....tp km lupa satu hal loh fi... :)
tanah liat itu memang mengeras seiring waktu...
tapi kalau tidak dibakar, maka air masih bisa mengembalikannya ke bentuk
yang lebih lembut, bahkan membantu membentuk sesuatu yang lebih sempurna..... saya punya org2 yg saya cintai, dan sahabat yg sangat berarti, kalian adalah "air" saya yang sesungguhnya.."
Ya, akupun tak tau akan menjadi seperti apa tnp orang2 yg prnh hadir dlm hidupku, tnp "air" itu. Oleh karena itu, aku ingin membagi ceritaku ttg mereka yg turut membantu memberi bentuk pada "tanah liat"ku :)