Kejadiannya sudah berlalu lebih dari 2 pekan tapi perasaanku masih tak menentu dan rasa-rasanya aku ingin sekali meluahkan banyak kata. Bukan, bukan kata-kata makian penuh kemarahan. Hanya penjelasan.
Hari itu aku memutuskan untuk pulang kampung. Jarak Bontang, kota lahirku, dengan kota tempat ku kuliah memang tidak begitu jauh, sekitar 2,5-3 jam jalur darat sehingga aku tidak begitu pusing memikirkan waktu yang tepat untuk pulang. Libur kuliah sudah mulai sejak 2 pekan sebelumnya dan aku sudah sempat pulang beberapa hari, lalu lanjut ke Malang untuk suatu kegiatan selama sepekan, setelah itu aku ke Samarinda untuk mengurus beberapa hal, salah satunya adalah kepanitiaan penyambutan maba yang mana aku diamanahi untuk mengetuainya.
Sebelum berangkat ke Malang, aku sempat menjelaskan ke Ibu bahwa kegiatan di Malang berlangsung pada tgl 13-17 Juli, sehingga kuperkirakan bisa pulang ke Bontang tgl 19. Ibu terlihat senang dan berharap aku segera kembali. Sayangnya, ternyata keperluanku di Samarinda ga bisa selesai segera.
Ramadhan pun tiba, dan aku menajalani rutinitas sahur dan berbuka seorang diri di kamar kosan. Penghuni lain yang tersisa di kosku tinggal seorang kristiani, dan dua kakak beradik. Kedua kakak beradik ini aku ga begitu akrab karena beda jadwal dan kesibukan sehingga jarang ketemu. Sebenarnya sahur dan berbuka sendirian tidak masalah bagiku, karena aku juga sambil mengerjakan berbagai hal. Yang agak berat adalah kenyataan bahwa bulan sudah memasuki tanggal tua dan aku harus mengencangkan ikat pinggang. Bukannya tak ada, tapi aku sudah terlalu malu untuk minta uang dari ibuku. Aku harus pandai-pandai mengatur agar tidak sampai benar-benar kehabisan, tapi juga tentu tanpa merana. Jadi aku beli makan seusai taraweh, hanya kumakan setengahnya dan kusisakan untuk makan sahur. Aku juga lebih memilih jalan kaki dari pangkal Jl.Pramuka sampai ke kosku di ujungnya karena bisa menghemat ongkos angkot 3 ribu rupiah.
Okelah, itu juga bukan hal besar, karena sudah beberapa bulan aku berkomitmen untuk belajar hidup mandiri (walau sampai sekarang masih dikirimin ortu). Kehidupan di Samarinda beberapa hari itu terasa semakin berat karena kawan-kawan yang bisa kupinjam motornya sedang pulang kampung, sehingga mobilisasiku agak repot. Toko-toko yang dekat kos pun banyak yang tutup. Untuk membeli voucher hotspot aku sampai menelusuri jalan ke sana kemari. Oh ya! Hotspot sangat penting bagiku, terutama karena kepanitiaan maba ini orang-orangnya sudah saling berpencar jauh di kampung masing-masing dan internet termasuk media komunikasi yang paling efektif untuk mengatasi jarak.
Walau suka travelling, aku sebenarnya termasuk mahasiswa yang ga hobi pulkam, apalagi kalau hanya libur 1-2 hari atau masih ada kewajiban di kota domisiliku ini. Tapi kewajibanku belajar, kewajibanku menunaikan amanah, bagiku tak pernah sebesar kewajiban baktiku pada orangtua. Dari dulu keluarga adalah prioritasku nomor satu.
Maka bagaimanalah perasaanku ketika Ibu beberapa kali menelepon mengabarkan kondisi rumah yang ditinggal mbak yang bantu nyuci, nyetrika dan beres-beres (tiba-tiba pergi tanpa kabar) sehingga ibuku yang usianya sudah kepala 5 harus mengerjakan pekerjaan rumah itu setiap hari. Ibu menderita Diabetes Mellitus sejak sekitar 11 tahun yang lalu. Sewaktu SMA aku tinggal bersama Ibu (SMP di pondok pesantren) dan rasanya setiap pagi aku melihat bayang-bayang kematian karena payahnya kondisi Ibu. Jadi mendengar cerita Ibu aku hanya bisa berdoa agar Allah terus mengaruniakan kesehatan dan kekuatan pada Ibu. Sambil mulutku terus menguntai janji: “tanggal 20, Bu, insyaAllah pulang..” yang selanjutnya bergeser jd 24, lalu berubah lagi jadi 26. Setiap kali aku mengabarkan tidak jadi pulang karena urusan belum selesai, Ibu hanya menjawab pasrah, “Ya, Nak. Selesaikanlah urusan Ifi, semoga Allah memudahkan, semuanya lancar, kita segera jumpa lagi..”
Kata-kata Ibu selalu sendu dan menyiratkan kerinduan mendalam. Itulah mengapa pulang kampung bagiku lebih merupakan bakti ketimbang kesenangan pribadi (yah, meskipun pada kenyataannya aku masih sering santai-santai di rumah..). Ada seorang teman yang juga kutahu sering pulang karena memedulikan kondisi rumah dan keluarganya yang sedang diuji oleh Allah. Mungkin teman-teman lain yang tinggal di luar kota juga punya alasan yang sama. Oleh karena itu, aku sangat menghargai hak kawan-kawan yang izin berhalangan karena pulang kampung.
Tetapi alangkah terpukulnya hatiku! Ketika akhirnya aku tiba di rumah dan bertemu ibuku, sebuah pesan masuk ke hapeku, menuntutku untuk balik ke Samarinda. Pesan itu dari seorang panitia yang merasa keberatan jika ketua panitianya tidak berada di tempat.
Napasku memburu, telapak tanganku dingin, dan pelipisku berdenyut-denyut. Dengan cepat aku membalas, mengetikkan kata-kata penuh nada kemarahan, menjelaskan panjang lebar, membandingkan kondisinya dengan kondisiku dan menambahkan satu dua kata yang menghina. Tapi itu semua baru terjadi di bayanganku. Kenyataannya, aku melempar hape ke kasur dan meninggalkannya beberapa jam, meredakan gejolak di dadaku.
Aku tak ingat persis berapa jam, tapi lama kemudian baru kubalas SMS itu. Semua rencanaku tadi sudah menguap, dan aku hanya mengetikkan pertanyaan: apa yang membuatku harus berada di sana? Ditambah sedikit jawaban untuk kekhawatirannya bahwa banyak yang belum beres dan menjelaskan bahwa komunikasi masih bisa terus berjalan.
Mungkin dia tidak tahu persis kondisiku. Aku juga tak tahu persis kondisinya. Ya, bisa jadi dia memang sudah berjuang cukup keras dan melelahkan untuk kepanitiaan ini dan merasa peduli serta bertanggung jawab. Entahlah.
Aku tidak marah apalagi membencinya. Aku selalu, Alhamdulillah, membenci perilaku, bukan orangnya. Dan aku membenci perilaku yang menelantarkan hak-hak orang lain. Dengan kebencian ini, aku hanya berdoa agar orang-orang yg pernah berlaku seperti itu (mungkin termasuk aku?) tidak kembali terjerumus, dan aku berharap agar Allah menjauhkan diriku dari sikap yang kubenci itu. Aamiin.
-14 Agustus 2012
Hari itu aku memutuskan untuk pulang kampung. Jarak Bontang, kota lahirku, dengan kota tempat ku kuliah memang tidak begitu jauh, sekitar 2,5-3 jam jalur darat sehingga aku tidak begitu pusing memikirkan waktu yang tepat untuk pulang. Libur kuliah sudah mulai sejak 2 pekan sebelumnya dan aku sudah sempat pulang beberapa hari, lalu lanjut ke Malang untuk suatu kegiatan selama sepekan, setelah itu aku ke Samarinda untuk mengurus beberapa hal, salah satunya adalah kepanitiaan penyambutan maba yang mana aku diamanahi untuk mengetuainya.
Sebelum berangkat ke Malang, aku sempat menjelaskan ke Ibu bahwa kegiatan di Malang berlangsung pada tgl 13-17 Juli, sehingga kuperkirakan bisa pulang ke Bontang tgl 19. Ibu terlihat senang dan berharap aku segera kembali. Sayangnya, ternyata keperluanku di Samarinda ga bisa selesai segera.
Ramadhan pun tiba, dan aku menajalani rutinitas sahur dan berbuka seorang diri di kamar kosan. Penghuni lain yang tersisa di kosku tinggal seorang kristiani, dan dua kakak beradik. Kedua kakak beradik ini aku ga begitu akrab karena beda jadwal dan kesibukan sehingga jarang ketemu. Sebenarnya sahur dan berbuka sendirian tidak masalah bagiku, karena aku juga sambil mengerjakan berbagai hal. Yang agak berat adalah kenyataan bahwa bulan sudah memasuki tanggal tua dan aku harus mengencangkan ikat pinggang. Bukannya tak ada, tapi aku sudah terlalu malu untuk minta uang dari ibuku. Aku harus pandai-pandai mengatur agar tidak sampai benar-benar kehabisan, tapi juga tentu tanpa merana. Jadi aku beli makan seusai taraweh, hanya kumakan setengahnya dan kusisakan untuk makan sahur. Aku juga lebih memilih jalan kaki dari pangkal Jl.Pramuka sampai ke kosku di ujungnya karena bisa menghemat ongkos angkot 3 ribu rupiah.
Okelah, itu juga bukan hal besar, karena sudah beberapa bulan aku berkomitmen untuk belajar hidup mandiri (walau sampai sekarang masih dikirimin ortu). Kehidupan di Samarinda beberapa hari itu terasa semakin berat karena kawan-kawan yang bisa kupinjam motornya sedang pulang kampung, sehingga mobilisasiku agak repot. Toko-toko yang dekat kos pun banyak yang tutup. Untuk membeli voucher hotspot aku sampai menelusuri jalan ke sana kemari. Oh ya! Hotspot sangat penting bagiku, terutama karena kepanitiaan maba ini orang-orangnya sudah saling berpencar jauh di kampung masing-masing dan internet termasuk media komunikasi yang paling efektif untuk mengatasi jarak.
Walau suka travelling, aku sebenarnya termasuk mahasiswa yang ga hobi pulkam, apalagi kalau hanya libur 1-2 hari atau masih ada kewajiban di kota domisiliku ini. Tapi kewajibanku belajar, kewajibanku menunaikan amanah, bagiku tak pernah sebesar kewajiban baktiku pada orangtua. Dari dulu keluarga adalah prioritasku nomor satu.
Maka bagaimanalah perasaanku ketika Ibu beberapa kali menelepon mengabarkan kondisi rumah yang ditinggal mbak yang bantu nyuci, nyetrika dan beres-beres (tiba-tiba pergi tanpa kabar) sehingga ibuku yang usianya sudah kepala 5 harus mengerjakan pekerjaan rumah itu setiap hari. Ibu menderita Diabetes Mellitus sejak sekitar 11 tahun yang lalu. Sewaktu SMA aku tinggal bersama Ibu (SMP di pondok pesantren) dan rasanya setiap pagi aku melihat bayang-bayang kematian karena payahnya kondisi Ibu. Jadi mendengar cerita Ibu aku hanya bisa berdoa agar Allah terus mengaruniakan kesehatan dan kekuatan pada Ibu. Sambil mulutku terus menguntai janji: “tanggal 20, Bu, insyaAllah pulang..” yang selanjutnya bergeser jd 24, lalu berubah lagi jadi 26. Setiap kali aku mengabarkan tidak jadi pulang karena urusan belum selesai, Ibu hanya menjawab pasrah, “Ya, Nak. Selesaikanlah urusan Ifi, semoga Allah memudahkan, semuanya lancar, kita segera jumpa lagi..”
Kata-kata Ibu selalu sendu dan menyiratkan kerinduan mendalam. Itulah mengapa pulang kampung bagiku lebih merupakan bakti ketimbang kesenangan pribadi (yah, meskipun pada kenyataannya aku masih sering santai-santai di rumah..). Ada seorang teman yang juga kutahu sering pulang karena memedulikan kondisi rumah dan keluarganya yang sedang diuji oleh Allah. Mungkin teman-teman lain yang tinggal di luar kota juga punya alasan yang sama. Oleh karena itu, aku sangat menghargai hak kawan-kawan yang izin berhalangan karena pulang kampung.
Tetapi alangkah terpukulnya hatiku! Ketika akhirnya aku tiba di rumah dan bertemu ibuku, sebuah pesan masuk ke hapeku, menuntutku untuk balik ke Samarinda. Pesan itu dari seorang panitia yang merasa keberatan jika ketua panitianya tidak berada di tempat.
Napasku memburu, telapak tanganku dingin, dan pelipisku berdenyut-denyut. Dengan cepat aku membalas, mengetikkan kata-kata penuh nada kemarahan, menjelaskan panjang lebar, membandingkan kondisinya dengan kondisiku dan menambahkan satu dua kata yang menghina. Tapi itu semua baru terjadi di bayanganku. Kenyataannya, aku melempar hape ke kasur dan meninggalkannya beberapa jam, meredakan gejolak di dadaku.
Aku tak ingat persis berapa jam, tapi lama kemudian baru kubalas SMS itu. Semua rencanaku tadi sudah menguap, dan aku hanya mengetikkan pertanyaan: apa yang membuatku harus berada di sana? Ditambah sedikit jawaban untuk kekhawatirannya bahwa banyak yang belum beres dan menjelaskan bahwa komunikasi masih bisa terus berjalan.
Mungkin dia tidak tahu persis kondisiku. Aku juga tak tahu persis kondisinya. Ya, bisa jadi dia memang sudah berjuang cukup keras dan melelahkan untuk kepanitiaan ini dan merasa peduli serta bertanggung jawab. Entahlah.
Aku tidak marah apalagi membencinya. Aku selalu, Alhamdulillah, membenci perilaku, bukan orangnya. Dan aku membenci perilaku yang menelantarkan hak-hak orang lain. Dengan kebencian ini, aku hanya berdoa agar orang-orang yg pernah berlaku seperti itu (mungkin termasuk aku?) tidak kembali terjerumus, dan aku berharap agar Allah menjauhkan diriku dari sikap yang kubenci itu. Aamiin.
-14 Agustus 2012